I. MADE SUANTHA: SUNYI CHAIRIL ANWAR, SERATUS TAHUN PANJANG PUISI ITU MENDIRIKAN RUMAH ABADI
I. MADE SUANTHA:
SUNYI CHAIRIL ANWAR, SERATUS TAHUN PANJANG PUISI ITU MENDIRIKAN RUMAH ABADI.
Prolog:
- Aku ingin kau melambungkan layangan itu
dan aku mengulurkan tali dari dalam jiwaku -
Menggambar Chairil Anwar, katakata yang purba itu membentuk raut mukanya.
Katakata yang seasam cuka ataukah seharum kelebat kupukupu di antara saripati bungabunga.
Pinanglah puisi sebagai hayati pertualangan.
/1/
Memandangi sinar temaram lampu yang jatuh
di halaman itu. Angin perlahan saja
mendesir. Adakah dahan atau daundaun menahannya
Hingga taksampai sempurna menjadi dingin tubuhmu.
Membacamu, Chairil Anwar yang membisu di setiap tanda baca kalimat itu.
Arah anak panah kadang salah kuterka
Selalu saja aku tergopoh
memburu tuntunan dari jejak jejak yang kau tinggalkan :"Senja di atas pulau
tercerap di setiap butir butir pasir
seperti buih ombak itu
Dan kau mencatatnya serupa cinta
yang menyempurna di tatanan katakata!"
Membacamu, siapa berlari ke dalam diri
sendiri. Mengurai dingin angin di dalam
sengalan nafas: Bayangan cemara merendah
sampai di ujung rerumputan. Menutupi jejak
setiap jejakmu yang mengakar
di dalam degup jantungku
Seakan cinta beranak pinak dalam kata
katamu dan berakar pada keabadian puisi.
/2/
100 tahun lamanya menjadi pendobrak dan tak harus menjadi presiden penyair seumur hidupnya.
100 tahun menjelang, bulan tetap saja purnama
Almanak berjalan perlahan
: Mendayung bersama dengan masing masing perahu
di jalur yang sama. Mengapa kita merasakan
gerak arus yang berbeda!
Membacamu di seratus tahun kini, serupa
cemara yang melemah itu karena
berat setitik embun yang menggelayut
padanya. Chairil, menari sunyi. Mengitari
bumi. Merotasi dalam diri sendiri. Cinta yang tumbuh
subur dalam kalbu. Atau masih menulis
hening akan sebuah pelabuhan yang mengkaramkan
dayung jukungku.
Hingga seratus tahun lamanya cinta itu
di tempuh. Apa cinta sesempurna pohon kepada tanah
Apa cinta segairah perahu pada geliat lautan
Juga cinta setulus bulan pada malam.
Berumur seratus tahun, kata mengeja hidup yang terlunta lunta
Pengelana yang mabuk
Mabuk tanda dan isyarat
Perambah yang gulana. Terlena menerjemahkan
tanda dan isyarat
dalam puisi. Cahaya yang membinar
sempurna di bagian ruang paling rahsia dari gelap hatiku.
/3/
Berkereta angin dan mabuk, sebelum tujuan sampai kutempuh
Terburu buru saja orang ke orang mencatatkan namanya
pada arah anak panah yang bengkok menunjuk tempuhan
Tergopoh gopoh hingga tatapan
menjadi buyar di lintas perjalanan.
Berkereta angin. Dan mabuk, serupa daun
yang menguning dan jatuh. Membusuk di sekitar
cerapan akarnya. Akankah paham pada
muasal dari sebuah kelahiran.
Penyair. Semisal polah burung berkicau
Nyanyian sunyi. Suka/duka
adalah larik larik syair yang sama!
Epilog:
Mengagumi Chairil, adakah katakata yang
paling khianat tertulis sebagai puisi.
Partitur jiwani. Resonansi diri
dari perjalanan menemu
Tak menemu.
Sipta Umadika, singapadu Sukawati Gianyar, Juni 2022.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda