10 Pandai Menjadi Puisi

 Pandai Menjadi Puisi


   Mari kita lihat penyair dengan imajenasi tinggi. Ia bisa menjadi apa saja seperti apa yang dilakukan chairil Anwar. Ia menjadikan dirinya sosok tokoh yang dicipta. Imajenasi yang tinggi membuatnya mampu dirinya masuk kedalam jiwa puisi itu. Sebuah puisi imajener.


   Sebelumnya mari kita cermati Kepiawaian Chairil dalam Mencipta puisi. Demikian hebatnya Chairil menjadi Prajurit Jaga Malam, Chairil tak bicara rokok atau kopi penahan kantuk, tak bicara nyamuk , kelelawar ddan embun dini hari. Chairil pandai menjadi puisi, menjadi dirinya seorang prajurit jaga malam, menusuk pikiran si penjaga malam, dan bersembunyi di hati dalam dada prajurit jaga malam. Chairil memang jempolan. Berikut puisinya:


Prajurit Jaga Malam.

Chairi Anwar.


Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!


Apa yang dilakukan Chairil itu penyair kita mampu menjadi diri puisi itu. Berikut sebuah puisi karya penyair kita yang mampu menjadikan puisi imajener. Dia adalah tak lain Cok Sawitri yang menulis tentang Namaku Dirah.


Berikut Cok Sawitri:


Namaku Dirah

Cok Sawitri:


ketika wanita menjadi janda

mulailah sudah prasangka

melucuti kemurnian rahim

rumah-rumah menanam pandan di pintu-pintu

anak-anak menutup lubang pusar

lelaki menggosok-gosok kumisnya

namaku dirah

aku cangkul tubuhku

hujan telah mengirim hati dan jantung ke tanah

sedang harapan ada di luar kenyataan hidup

pagi itu aku bertanya pada diri: raja mana itu!

Kematian suamiku menjadi aniaya

kesendirian ini menjadi kamar hukuman

tetapi apa kesalahan anakku

namaku dirah

aku hanya seorang janda

sia-sia bila kukirim pertanyaan: apa salahku?kekuasaan telah menasibkan kekhawatiran

tembok-tembok tingii

penjaga-penjaga yang tak lagi miliki mata

siang malam membisukan

Siapa saja yang hendak bicara

apa pun namanya yang dipagari

berlapis-lapis benteng

berbulan-bulan pesta upacara

disuburkan sumpah dan janji kesetiaan

terusik bisikku: namaku dirah

tanah yang telah berakar-buah

siapa diterjang seribu anak panah

tubuh ramping berbalut kain putih itu

luruh tersangga batang pohon kepah

matanya memancarkan hati yang bebas

ketika tubuhnya merosot ke bawah

rumput-rumput menegak menyediakan dirinya

menanti kedatangan tubuh ibunya

namaku dirah

dengan darah usus di leher aku menari sepuas hati

kepedihan ini

kemarin di tengah malam

aku sejenak merasa takut

kandung telurku diserang usikan dingin

menisik bayang ayahmu

andai dia masih

kecengengan senantiasa

menawarkan riwayat luka

aku cangkul tubuhku

kerna namaku dirah

ribuan prajurit terpuruk

membelalak menyambut kematian

seperti tak percaya

kekuasaan tidak melindungi nyawanya

selembar kain putih

leher berkalung usus

rambut gimbal bau amis darah

sampaikan:

semua benteng memiliki celah

begitupun keangkuhan

tak kecuali kekuasaan retak

oleh lirik mataku

kerna namaku dirah

hanya seorang janda

bukan tubuh di atas tahta

di mana senjata adalah kaumnya

1997


 (Rg Bagus Warsono, 23-08-15,Kurator sastra di HMGM)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiba di Dermagamu, Rg Bagus Warsono

Terjebak Hujan Tidur di Rumah Janda